Light Pink Pointer

Rabu, 15 April 2015

Balance of Power dalam perdamaian dan keamanan internasional

Assalammualaikum sahabat blogger, kali ini saya ingin membahas mengenai Konsep balance of Power dalam perdamaian internasional 

Dalam tatanan dunia internasional, setiap negara tentu menginginkan adanya stabilitas politik yang dapat membawa dunia kepada kondisi yang damai dan stabil tanpa harus adanya peperangan. Berkaca pada peristiwa yang terjadi pada masa lalu yakni mulai dari Perang Dunia I dan II hingga Perang Dingin, telah menimbulkan banyak trauma akibat perang yang ditimbulkan merugikan banyak pihak. Tatanan internasional pada masa itu juga membawa dunia pada adanya bipolaritas atau dua kekuatan besar yang saling bersaing untuk merebut kekuasaan yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Melihat dari pengalaman tersebut, setiap negara di dunia saat ini membutuhkan apa yang disebut sebagai penyeimbang kekuatan atau balance of power. Konsep balance of power sendiri dianggap mampu membawa dunia pada tingkatan yang lebih stabil di tengah kondisi yang riskan akan terjadinya konflik. Terlebih lagi, adanya ancaman bahwa satu negara cenderung akan menguasai sistem politik internasional secara keseluruhan atau menjadi hegemon, membuat konsep BoP tersebut kian dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang kekuasaan negara – negara di dunia. Terdapat beberapa kekuatan di dunia yang dapat mempengaruhi tatanan internasional secara umum yakni unipolar atau kekuatan tunggal yang mengatur sistem, bipolar yaitu adanya dua kekuatan yang mengatur sistem, dan multipolar yaitu terdapat banyak negara yang ikut terlibat dalam mengatur sistem politik internasional.
Konsep balance of power dipandang oleh kaum realis sebagai konsep yang menekankan bahwa tingginya sebuah power dalam suatu negara sangat diperlukan dimana harus terjadi adanya keseimbangan kekuatan di dunia agar perang tidak berlangsung secara terus menerus. Konsep tersebut juga digunakan oleh setiap negara agar dapat survive di dalam perpolitikan internasional. Balance of power sendiri dilihat sebagai kondisi dimana terdapat pembagian kekuasaan yang sama rata dan adil oleh sekelompok negara tertentu, sehingga kekuasaan tidak berlangsung secara terpusat oleh negara tertentu saja. Dengan begitu, diharapkan tatanan internasional akan berada pada situasi yang aman dan jauh dari konflik (Pettman, 1991: 55). Setiap negara dapat melakukan penyeimbangan melalui dua faktor yakni internal dimana melakukan shifting dan relocating pada kapabilitas pertahanan domestiknya serta faktor eksternal yakni melakukan kerjasama dengan negara lain. Terdapat pula jenis – jenis dari balance of power itu sendiri yaitu pertama hedging dimana adanya ketidakpastian dan cenderung mudah berubah – ubah, dalam hal ini adanya upaya untuk melakukan balance negara yang memiliki kekuatan baru; kedua engagement yaitu uses reward to attempt socialize the dissatisfied power through rules; dan ketiga bandwagoning yaitu aligning with country avoiding being attacked by it and being in wiining side – economic gain (Soesilowati, 2014).
Pettman (1991) dalam artikelnya melihat konsep balance of power melalui tiga perspektif yang berbeda-beda. Perspektif pertama ialah balance of power sebagai deskriptif yang mana mampu memberikan gambaran jelas mengenai distribusi kekuasaan di setiap negara. Pada perspektif ini, balance of power dibagi menjadi tiga pola yaitu (1) balance of power sebagai distribusi kekuasaan dimana BoP bersifat dinamis. Dengan sifat dinamisnya tersebut, artinya terdapat kecenderungan bagi BoP untuk berubah – ubah sehingga apabila hal tersebut terjadi maka hubungan kekuasaan antar negara dalam lingkup internasional pun akan ikut berubah; (2) balance of power sebagai keseimbangan dalam distribusi power. Sebagai penyeimbang, BoP membawa negara – negara untuk membentuk aliansi dalam mempertahankan keseimbangan tatanan internasional. Dengan begitu, setiap negara dapat mencegah negara lain dari kecenderungan untuk menguasai seluruh sistem politik internasional; (3) balance of power sebagai distribusi power yang tidak merata. Adanya ketidakseimbangan dari distribusi kekuasaan disini menciptakan terjadinya kekuatan yang dominan ataupun hegemoni. Kekuatan – kekuatan tersebut muncul karena adanya kekuatan yang saling berlawanan antara dua negara atau lebih sehingga menciptakan instabilitas politik internasional. Sebagai contoh ialah pada masa Perang Dingin dimana terdapat perlombaan kekuasaan dari dua kekuatan negara Great Power yakni Amerika Serikat dn Uni Soviet dimana kedua negara tersebut saling berusaha untuk mempertahankan penyebaran pengaruh dari kedua ideologi yang berbeda di setiap negara melalui proxy war (Pettman, 1991: 65-66).
Perspektif kedua ialah balance of power sebagai penjelasan, dimana pola yang muncul dalam BoP itu sendiri terhadap tatanan internasional merupakan hasil interaksi dari negosiasi di antara negara satu dengan lainnya untuk saling mempertahankan sumber daya serta batas wilayah di masing – masing negara. Ketika melakukan negosiasi tersebut, setiap negara terbagi dalam beberapa kategori yakni (1) negara satelit, yaitu negara yang dikendalikan oleh negara lain yang memiliki power yang lebih besar daripada negara tersebut. Dengan begitu, setiap negara yang menjadi negara satelit harus memiliki kebijakan yang sejalan dengan kepentingan negara yang menjadi pengendalinya; (2) negara stimmer, yaitu negara yang secara tegas melawan adanya kekuatan asing yang masuk dan mengubah status quo di dalam negaranya; (3) negara netral, yaitu negara yang tidak ikut berperan dalam merebut kekuasaan di dalam perpolitikan internasional seperti hanya negara Swiss; dan (4) negara penyangga, yaitu negara yang dijadikan sebagai wilayah penyangga seperti halnya negara – negara di Eropa pada masa Perang Dingin berlangsung antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.  Wilayah tersebut sengaja dibiarkan netral atau tidak berpihak pada kubu manapun ketika perang terjadi (Pettman, 1991: 67-68). Perspektif terakhir ialah balance of power sebagai preskripsi, dimana terdapat asumsi bahwa keseimbangan kekuasaan harus diwujudkan dan dipertahankan agar terciptanya perdamaian dan stabilitas di dunia (Pettman, 1991: 69). Dengan demikian, terlihat bahwa pada dasarnya pembentukan konsep dari balance of power itu sendiri mengamini adanya suatu keseimbangan kekuasaan dari sebuah tatanan internasional. Kecenderungan negara bersifat egois tidak menampik adanya kemungkinan – kemungkinan dari setiap negara tersebut menginginkan adanya kekusaan penuh atau menjadi super power di dunia dengan mengambil alih seluruh sistem politik internasional.
Adanya pengembangan teknologi khususnya teknologi nuklir, telah membawa banyak negara dihadapkan pada rasa ketakutan yang sangat tinggi jika nuklir tersebut benar – benar dikembangkan. Nuklir merupakan senjata pemusnah massal yang fungsinya digunakan sebagai ancaman oleh negara agar negara lain mendapatkan keuntungan dari negara yang diancam (Goldstein, 2003: 182). Kendati demikian, negara yang memiliki nuklir pun tidak akan benar – benar menggunakan senjatanya karena adanya kesadaran bahwa hal demikian hanya akan menimbulkan kerugian yang besar. Kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai security dilemma, dimana setiap negara harus mampu survive dan mencapai kepentingannya meskipun harus dengan menggunakan ancaman (Pettman, 1991). Negara juga cenderung akan melakukan aliansi untuk menyatukan kekuatan yang pada akhirnya menimbulkan integrasi dimana perdamaian dan keamanan akan tercapai di dalamnya. Namun, kondisi dunia saat ini tidak dapat dikatakan dalam kondisi yang damai sepenuhnya, karena masih ada negara yang memiliki senjata nuklir yang bisa saja sewaktu – waktu diluncurkan ketika kepentingannya tidak dapat tercapai, sehingga kondisi ini dinamakan negative peace.
Sebagai contoh ialah adanya balance of power di Asia paska Perang Dingin yang masih dipengaruhi oleh struktur dari tatanan internasional. Asia merupakan kawasan yang memiliki ketidakseimbangan terbesar ketika Amerika mendudukinya baik dalam aspek politik, ekonomi maupun militer. Paska Perang dingin, tatanan internasional sudah berubah pada bentuk unipolar berbeda dengan sebelumnya yang cenderung bipolar (Goldstein, 2003: 172). Dengan adanya bentuk baru yakni unipolar yang menempatkan Amerika Serikat menjadi satu – satunya negera hegemon, telah membawa banyak perubahan signifikan terhadap kondisi sistem internasional dewasa ini. Bahkan, dengan unipolaritas tersebut, cenderung memunculkan kekuatan – kekuatan baru yang mungkin saja bisa mengancam status quo Amerika Serikat sebagai hegemon. Seperti halnya negara Cina yang muncul sebagai pesaing Amerika terutama dalam aspek ekonomi. Meskipun saat ini Cina hanya menjadi hegemon di kawasan Asia, tidak menutup kemungkinan Cina akan mengembangkan popularitasnya di kawasan Barat. Tidak hanya aspek ekonomi yang saat ini berkembang dengan pesat di Cina, akan tetapi dalam aspek militer pun kini Cina tidak dapat dianggap sebagai pesaing biasa. Pertumbuhan Cina tersebut membawa dampak pada negara – negara Asia lainnya untuk mengimbangi kekuatan Cina yang semakin dominan di wilayah Asia (Goldstein, 2003: 187). Melihat semakin besarnya pengaruh Cina terhadap negara – negara di Asia, Amerika menggandeng negara – negara lain khususnya di kawasan Asia untuk menjadi rival dari Cina agar kekuasaan Cina di Asia dapat berkurang. Seperti halnya negara Australia, Vietnam, Jepang, Filipina dan Taiwan. Keempat negara tersebut saling bekerjasama untuk mengimbangi kekuatan militer di Cina yang sudah dipersiapkan secara matang oleh Amerika Serikat dalam rangka menyeimbangi adanya ancaman akan pertumbuhan Cina yang semakin pesat di masa yang akan datang (Goldstein, 2003: 189).
Kesimpulan :
Dengan demikian dapat dipahami bahwa balance of power adalah konsep dimana adanya keseimbangan di dalam kekuasaan oleh negara – negara super power. Balance of power juga digunakan sebagai solusi dari adanya kekuatan yang seimbang atau stabil di tengah kondisi yang riskan akan konflik. Sistem internasional saat ini juga telah berubah pada bentuk unipolar yakni dengan kekuatan hegemoni Amerika Serikat. Kendati demikian, Amerika Serikat dihadapkan pada kenyataan munculnya kekuatan baru Cina di Asia yang disinyalir mampu menyaingi kekuatan super power Amerika Serikat. Dengan langkah cepat, Amerika menerapkan balance of powernya dengan mengajak negara Asia seperti Jepang, Vietnam, Taiwan dan Filipina serta Australia untuk bekerjasama dalam hal menyeimbangi kekuatan di Asia tersebut melalui kekuatan instrumen ekonomi dan militer. Meskipun dunia dewasa ini berada pada kondisi damai, akan tetapi kekuatan militer dan pengembangan nuklir masih bisa mengancam dan menghancurkan perdaiamn dan keamanan internasional. Oleh karena itu, konsep balance of power disini digunakan untuk menekan negara – negara dari adanya kekuatan dominan terutama pada bidang militer dan nuklir. Amerika Serikat selalu berusaha mempertahankan status quonya sebagai kekuatan tunggal dalam sistem internasional dimana ia selalu bertindak cepat dalam menghadapi negara – negara yang menjadi pesaingnya agar kekuatan baru tersebut tidak menggeser kedudukan Amerika sebagai hegemon di ranah internasional. Kendati demikian, masih terdapat kritik untuk konsep balance of power yakni tidak adanya jaminan bahwa keseimbangan kekuatan akan benar – benar dapat berjalan serta masih tidak memungkinkan dan sulit untuk membangun suatu keseimbangan di dalam sistem internasional (Soesilowati, 2014).
Referensi         :
Goldstein, Avery. 2003. “Balance of Power Politics: Consequences for Asian Security      Order”, in Muthiah Alagappa (ed.), Asian Security Order, Stanford. California: Stanford University Press.
Pettman, Ralph. 1991. “The Balance of Power: International Politics, Balance of Power,   Balance of Productivity, Balance of ideologies”. Sydney: Longman Cheshire.
Soesilowati, Sartika. 2014. “Materi disampaikan pada saat mata kuliah Politik dan Keamanan Internasional pada tanggal 7 Agustus 2014”. Surabaya: Universitas Airlangga.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar