Assalammualaikum sahabat blogger, kali ini saya ingin membahas mengenai Konsep balance of Power dalam perdamaian internasional
Dalam tatanan dunia internasional,
setiap negara tentu menginginkan adanya stabilitas politik yang dapat
membawa dunia kepada kondisi yang damai dan stabil tanpa harus adanya
peperangan. Berkaca pada peristiwa yang terjadi pada masa lalu yakni
mulai dari Perang Dunia I dan II hingga Perang Dingin, telah menimbulkan
banyak trauma akibat perang yang ditimbulkan merugikan banyak pihak.
Tatanan internasional pada masa itu juga membawa dunia pada adanya
bipolaritas atau dua kekuatan besar yang saling bersaing untuk merebut
kekuasaan yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Melihat dari pengalaman
tersebut, setiap negara di dunia saat ini membutuhkan apa yang disebut
sebagai penyeimbang kekuatan atau balance of power. Konsep balance of power
sendiri dianggap mampu membawa dunia pada tingkatan yang lebih stabil
di tengah kondisi yang riskan akan terjadinya konflik. Terlebih lagi,
adanya ancaman bahwa satu negara cenderung akan menguasai sistem politik
internasional secara keseluruhan atau menjadi hegemon, membuat konsep
BoP tersebut kian dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang kekuasaan negara –
negara di dunia. Terdapat beberapa kekuatan di dunia yang dapat
mempengaruhi tatanan internasional secara umum yakni unipolar atau
kekuatan tunggal yang mengatur sistem, bipolar yaitu adanya dua kekuatan
yang mengatur sistem, dan multipolar yaitu terdapat banyak negara yang
ikut terlibat dalam mengatur sistem politik internasional.
Konsep balance of power dipandang oleh kaum realis sebagai konsep yang menekankan bahwa tingginya sebuah power
dalam suatu negara sangat diperlukan dimana harus terjadi adanya
keseimbangan kekuatan di dunia agar perang tidak berlangsung secara
terus menerus. Konsep tersebut juga digunakan oleh setiap negara agar
dapat survive di dalam perpolitikan internasional. Balance of power
sendiri dilihat sebagai kondisi dimana terdapat pembagian kekuasaan
yang sama rata dan adil oleh sekelompok negara tertentu, sehingga
kekuasaan tidak berlangsung secara terpusat oleh negara tertentu saja.
Dengan begitu, diharapkan tatanan internasional akan berada pada situasi
yang aman dan jauh dari konflik (Pettman, 1991: 55). Setiap negara
dapat melakukan penyeimbangan melalui dua faktor yakni internal dimana
melakukan shifting dan relocating pada kapabilitas
pertahanan domestiknya serta faktor eksternal yakni melakukan kerjasama
dengan negara lain. Terdapat pula jenis – jenis dari balance of power itu sendiri yaitu pertama hedging
dimana adanya ketidakpastian dan cenderung mudah berubah – ubah, dalam
hal ini adanya upaya untuk melakukan balance negara yang memiliki
kekuatan baru; kedua engagement yaitu uses reward to attempt socialize the dissatisfied power through rules; dan ketiga bandwagoning yaitu aligning with country avoiding being attacked by it and being in wiining side – economic gain (Soesilowati, 2014).
Pettman (1991) dalam artikelnya melihat konsep balance of power melalui tiga perspektif yang berbeda-beda. Perspektif pertama ialah balance of power
sebagai deskriptif yang mana mampu memberikan gambaran jelas mengenai
distribusi kekuasaan di setiap negara. Pada perspektif ini, balance of power dibagi menjadi tiga pola yaitu (1) balance of power
sebagai distribusi kekuasaan dimana BoP bersifat dinamis. Dengan sifat
dinamisnya tersebut, artinya terdapat kecenderungan bagi BoP untuk
berubah – ubah sehingga apabila hal tersebut terjadi maka hubungan
kekuasaan antar negara dalam lingkup internasional pun akan ikut
berubah; (2) balance of power sebagai keseimbangan dalam distribusi power.
Sebagai penyeimbang, BoP membawa negara – negara untuk membentuk
aliansi dalam mempertahankan keseimbangan tatanan internasional. Dengan
begitu, setiap negara dapat mencegah negara lain dari kecenderungan
untuk menguasai seluruh sistem politik internasional; (3) balance of power sebagai distribusi power
yang tidak merata. Adanya ketidakseimbangan dari distribusi kekuasaan
disini menciptakan terjadinya kekuatan yang dominan ataupun hegemoni.
Kekuatan – kekuatan tersebut muncul karena adanya kekuatan yang saling
berlawanan antara dua negara atau lebih sehingga menciptakan
instabilitas politik internasional. Sebagai contoh ialah pada masa
Perang Dingin dimana terdapat perlombaan kekuasaan dari dua kekuatan
negara Great Power yakni Amerika Serikat dn Uni Soviet dimana
kedua negara tersebut saling berusaha untuk mempertahankan penyebaran
pengaruh dari kedua ideologi yang berbeda di setiap negara melalui proxy war (Pettman, 1991: 65-66).
Perspektif kedua ialah balance of power
sebagai penjelasan, dimana pola yang muncul dalam BoP itu sendiri
terhadap tatanan internasional merupakan hasil interaksi dari negosiasi
di antara negara satu dengan lainnya untuk saling mempertahankan sumber
daya serta batas wilayah di masing – masing negara. Ketika melakukan
negosiasi tersebut, setiap negara terbagi dalam beberapa kategori yakni
(1) negara satelit, yaitu negara yang dikendalikan oleh negara lain yang
memiliki power yang lebih besar daripada negara tersebut.
Dengan begitu, setiap negara yang menjadi negara satelit harus memiliki
kebijakan yang sejalan dengan kepentingan negara yang menjadi
pengendalinya; (2) negara stimmer, yaitu negara yang secara
tegas melawan adanya kekuatan asing yang masuk dan mengubah status quo
di dalam negaranya; (3) negara netral, yaitu negara yang tidak ikut
berperan dalam merebut kekuasaan di dalam perpolitikan internasional
seperti hanya negara Swiss; dan (4) negara penyangga, yaitu negara yang
dijadikan sebagai wilayah penyangga seperti halnya negara – negara di
Eropa pada masa Perang Dingin berlangsung antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet. Wilayah tersebut sengaja dibiarkan netral atau tidak berpihak
pada kubu manapun ketika perang terjadi (Pettman, 1991: 67-68).
Perspektif terakhir ialah balance of power sebagai preskripsi,
dimana terdapat asumsi bahwa keseimbangan kekuasaan harus diwujudkan dan
dipertahankan agar terciptanya perdamaian dan stabilitas di dunia
(Pettman, 1991: 69). Dengan demikian, terlihat bahwa pada dasarnya
pembentukan konsep dari balance of power itu sendiri mengamini
adanya suatu keseimbangan kekuasaan dari sebuah tatanan internasional.
Kecenderungan negara bersifat egois tidak menampik adanya kemungkinan –
kemungkinan dari setiap negara tersebut menginginkan adanya kekusaan
penuh atau menjadi super power di dunia dengan mengambil alih seluruh
sistem politik internasional.
Adanya pengembangan teknologi khususnya
teknologi nuklir, telah membawa banyak negara dihadapkan pada rasa
ketakutan yang sangat tinggi jika nuklir tersebut benar – benar
dikembangkan. Nuklir merupakan senjata pemusnah massal yang fungsinya
digunakan sebagai ancaman oleh negara agar negara lain mendapatkan
keuntungan dari negara yang diancam (Goldstein, 2003: 182). Kendati
demikian, negara yang memiliki nuklir pun tidak akan benar – benar
menggunakan senjatanya karena adanya kesadaran bahwa hal demikian hanya
akan menimbulkan kerugian yang besar. Kondisi tersebut dapat dikatakan
sebagai security dilemma, dimana setiap negara harus mampu survive
dan mencapai kepentingannya meskipun harus dengan menggunakan ancaman
(Pettman, 1991). Negara juga cenderung akan melakukan aliansi untuk
menyatukan kekuatan yang pada akhirnya menimbulkan integrasi dimana
perdamaian dan keamanan akan tercapai di dalamnya. Namun, kondisi dunia
saat ini tidak dapat dikatakan dalam kondisi yang damai sepenuhnya,
karena masih ada negara yang memiliki senjata nuklir yang bisa saja
sewaktu – waktu diluncurkan ketika kepentingannya tidak dapat tercapai,
sehingga kondisi ini dinamakan negative peace.
Sebagai contoh ialah adanya balance of power
di Asia paska Perang Dingin yang masih dipengaruhi oleh struktur dari
tatanan internasional. Asia merupakan kawasan yang memiliki
ketidakseimbangan terbesar ketika Amerika mendudukinya baik dalam aspek
politik, ekonomi maupun militer. Paska Perang dingin, tatanan
internasional sudah berubah pada bentuk unipolar berbeda dengan
sebelumnya yang cenderung bipolar (Goldstein, 2003: 172). Dengan adanya
bentuk baru yakni unipolar yang menempatkan Amerika Serikat menjadi satu
– satunya negera hegemon, telah membawa banyak perubahan signifikan
terhadap kondisi sistem internasional dewasa ini. Bahkan, dengan
unipolaritas tersebut, cenderung memunculkan kekuatan – kekuatan baru
yang mungkin saja bisa mengancam status quo Amerika Serikat
sebagai hegemon. Seperti halnya negara Cina yang muncul sebagai pesaing
Amerika terutama dalam aspek ekonomi. Meskipun saat ini Cina hanya
menjadi hegemon di kawasan Asia, tidak menutup kemungkinan Cina akan
mengembangkan popularitasnya di kawasan Barat. Tidak hanya aspek ekonomi
yang saat ini berkembang dengan pesat di Cina, akan tetapi dalam aspek
militer pun kini Cina tidak dapat dianggap sebagai pesaing biasa.
Pertumbuhan Cina tersebut membawa dampak pada negara – negara Asia
lainnya untuk mengimbangi kekuatan Cina yang semakin dominan di wilayah
Asia (Goldstein, 2003: 187). Melihat semakin besarnya pengaruh Cina
terhadap negara – negara di Asia, Amerika menggandeng negara – negara
lain khususnya di kawasan Asia untuk menjadi rival dari Cina agar
kekuasaan Cina di Asia dapat berkurang. Seperti halnya negara Australia,
Vietnam, Jepang, Filipina dan Taiwan. Keempat negara tersebut saling
bekerjasama untuk mengimbangi kekuatan militer di Cina yang sudah
dipersiapkan secara matang oleh Amerika Serikat dalam rangka
menyeimbangi adanya ancaman akan pertumbuhan Cina yang semakin pesat di
masa yang akan datang (Goldstein, 2003: 189).
Kesimpulan :
Dengan demikian dapat dipahami bahwa balance of power adalah konsep dimana adanya keseimbangan di dalam kekuasaan oleh negara – negara super power. Balance of power
juga digunakan sebagai solusi dari adanya kekuatan yang seimbang atau
stabil di tengah kondisi yang riskan akan konflik. Sistem internasional
saat ini juga telah berubah pada bentuk unipolar yakni dengan kekuatan
hegemoni Amerika Serikat. Kendati demikian, Amerika Serikat dihadapkan
pada kenyataan munculnya kekuatan baru Cina di Asia yang disinyalir
mampu menyaingi kekuatan super power Amerika Serikat. Dengan langkah cepat, Amerika menerapkan balance of powernya
dengan mengajak negara Asia seperti Jepang, Vietnam, Taiwan dan
Filipina serta Australia untuk bekerjasama dalam hal menyeimbangi
kekuatan di Asia tersebut melalui kekuatan instrumen ekonomi dan
militer. Meskipun dunia dewasa ini berada pada kondisi damai, akan
tetapi kekuatan militer dan pengembangan nuklir masih bisa mengancam dan
menghancurkan perdaiamn dan keamanan internasional. Oleh karena itu,
konsep balance of power disini digunakan untuk menekan negara –
negara dari adanya kekuatan dominan terutama pada bidang militer dan
nuklir. Amerika Serikat selalu berusaha mempertahankan status quonya
sebagai kekuatan tunggal dalam sistem internasional dimana ia selalu
bertindak cepat dalam menghadapi negara – negara yang menjadi pesaingnya
agar kekuatan baru tersebut tidak menggeser kedudukan Amerika sebagai
hegemon di ranah internasional. Kendati demikian, masih terdapat kritik
untuk konsep balance of power yakni tidak adanya jaminan bahwa
keseimbangan kekuatan akan benar – benar dapat berjalan serta masih
tidak memungkinkan dan sulit untuk membangun suatu keseimbangan di dalam
sistem internasional (Soesilowati, 2014).
Referensi :
Goldstein, Avery. 2003. “Balance of Power Politics: Consequences for Asian Security Order”, in Muthiah Alagappa (ed.), Asian Security Order, Stanford. California: Stanford University Press.
Pettman, Ralph. 1991. “The Balance of
Power: International Politics, Balance of Power, Balance of
Productivity, Balance of ideologies”. Sydney: Longman Cheshire.
Soesilowati, Sartika. 2014. “Materi
disampaikan pada saat mata kuliah Politik dan Keamanan Internasional
pada tanggal 7 Agustus 2014”. Surabaya: Universitas Airlangga.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar