Konsekuensi dari hukum yang terus mengalami pengubahan, perubahan, pembaharuan, dan reformasi hukum (legal reform).
Tersebutlah teori hukum progresif di kemudian hari, yang hendak
mengokohkan keitimewaan “hukum” agar sedianya tetap bertahan dalam masa
yang panjang. Menurut Nonet and Zelznik, mengemukakan tiga perkembangan
tatanan hukum dalam masyarakat yang sudah terorganisir secara politik
dalam bentuk negara. Ketiga tipe tatanan hukum itu adalah tatanan hukum
represif, tatanan hukum otonomius, dan tatanan hukum responsif.
Dalam tipe tatanan hukum hukum represif,
hukum dipandang sebagai abdi kekuasaan represif dan perintah dari yang
berdaulat (pengemban kekuasaan politk) yang memiliki kewenangan
diskresioner tanpa batas. Dalam tipe ini maka hukum dan negara serta
politik tidak terpisah, sehingga aspek instrumental dari hukum sangat
mengemuka (dominan lebih menonjol ke permukaan) ketimbang aspek
ekspresifnya. Dalam tipe tatanan hukum represif memperlihatkan
karakteristik sebagai berikut:
- Kekuasaan politik memiliki akses pada institusi hukum, sehingga tata hukum praktis menjadi identik dengan negara, dan hukum disubordinasi pada “rasion de etre”.
- Konservasi otoritas menjadi preukopasi berlebihan para pejabat hukum memunculkan “perspektif pejabat” yakni perspektif yang memandang keraguan harus menguntungkan sistem dan sangat mementingkan kemudahan administratif.
- Badan kontrol khusus menjadi pusat kekuasaan independen yang terisolasi dari konteks sosial yang memoderatkan dan kapabel melawan otoritas politik.
- Rezim hukum ganda menginstitusionalisasi keadilan kelas yang mengkosolidasi dan melegitimasi pola-pola subordinasi sosial.
- Perundang-undangan pidana mencerminkan dominan mores yang sangat menonjolkan legal moralisme.
Dalam tipe tatanan hukum otonomius,
hukum dipandang sebagai institusi mandiri yang mampu mengendalikan
represi dan melindungi integritasnya sendiri. Tatanan hukum itu
berintikan rule of law. Subordinasi putusan pejabat pada hukum,
integritas hukum, dan dalam kerangka itu institusi hukum serta cara
berpikir memiliki batas-batas yang jelas. Dalam tipe ini keadilan
prosedural sangat ditonjolkan.
Dalam tipe tatanan hukum responsif, hukum
dipandang sebagai fasilitator respon atau saran tanggapan terhadap
kebutuhan dan aspirasi sosial. Pandangan ini mengimpilikasikan pada dua
hal. Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan dan
rasional. Kedua, tujuan menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang
berjalan. Dalam tipe ini, aspek ekspresif dari hukum lebih mengemuka
ketimbang dua tipe lainnya dan keadilan substantif juga dipentingkan
disamping keadilan prosedural. Melalui tipe hukum yang responsif inilah,
Sadjipto Rahardjo menganggapnya sebagai tipe hukum ideal, sebab
merupakan tipe hukum yang memperjuangkan keadilan prosedural dan
keadilan substantif, sehingga dinamakan sebagai hukum progresif.
Selain Nonet and zelznik, Sadjipto
Rahardjo, masih terdapat pula teori hukum yang mengilhami munculnya
pembaharuan hukum yakni Roscue Pound. Roscue Pound terkenal degan ajaran
hukumnya, hukum sebagai a tool of social enginering, ajaran
Roscue Pound sebagai ajaran realisme, pada khususnya melihat hukum
sebagi alat untuk menciptakan hukum yang lebih efektif. Ajaran ini pula
sering digolongkan sebagai sociological jurisprudent, yang berarti hukum senantiasa akan menjadi saranan pembaharu setelah melihat praktik-praktik hukum di lapangan.
Oleh kemudian, sepadan dengan salah satu
ahli hukum internasional Mochtar Kusumatamadja, tidak dapat dilepaskan
dari ajaran hukum yang pernah dipopulerkan oleh Ruscue Pound, sehingga
kemudian di Indonesia mencetuskan teori hukum pembangunan (Law and development),
ajaran hukum ini pernah populer, bahkan dikenal sebagai mazhab Hukum
Unpad (universitas Padjajaran). Perbedaan yang mencolok dari apa yang
dikemukakan oleh Kusumaatmadaja dengan Roscue Pound, hukum bukan sekedar
alat semata, tetapi diluar itu juga harus dipandang sebagai sarana.
Oleh karena itu, maka diperlukan sarana
berupa peraturan hukum yang berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Lebih jauh, Mochtar
berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana lebih luas dari hukum
sebagai alat karena:
- Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum lebih menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada tempat lebih penting.
- Konsep hukkum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu.
- Apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan kebijakanhukum nasional.
Ada 2 (dua) aspek yang melatarbelakangi kemunculan teori hukum ini, yaitu: Pertama, ada asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat perubahan masyarakat. Kedua, dalam kenyataan di masyarakat Indonesia telah terjadi perubahan alam pemikiran masyarakat ke arah hukum modern.
Oleh karena itu, Mochtar Kusumaatmadja
mengemukakan tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah
ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang
teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda
isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya. Selanjutnya untuk
mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan
manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan
bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa
adanya kepastian hukum dan ketertiban. Fungsi hukum dalam masyarakat
Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan
ketertiban.
Agak berbeda dengan teori pembaharuan hukum yang dikemukakan oleh Romli Artasasmita, dalam bukunya yang berjudul “Teori Hukum Integratif” bahwa pada dasarnya fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool of social engeneering) relatif masih sesuai dengan pembangunan hukum nasional saat ini, namun perlu juga dilengkapi dengan pemberdayaan birokrasi (beureucratic engineering)
yang mengedepankan konsep panutan atau kepemimpinan, sehingga fungsi
hukum sebagai sarana pembaharuan dapat menciptakan harmonisasi antara
elemen birokrasi dan masyarakat dalam satu wadah yang disebut “beureucratic and social engineering” (BSE).
Terlepas dari itu semua, teori
pembaharuan hukum agar dapat menciptakan hukum yang sesuai dengan
nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, sebagai hukum integratif.
Maka tidak bisa menafikan hukum hanya bergerak dalam pendulum norma
positivistik saja. Demikianpula sebaliknya peranan realisme hukum, yang
memberi kritik atas kentalnya formalisme dan objektivisme hukum juga
tidak dapat berdiri sendiri. Sebab jika pendekatan ilmu hukum normatif
saja, maka hukum tersebut akan demikian menjadi kaku, sedangkan
pendekatan empirik terhadap hukum sejatinya akan membiarkan “hukum”
bergerak di ruang bebas tanpa ada kekuatannya sebagai hukum yang dapat
menjadi landasan (kepastian hukum). Di sinilah pentingnya keterpaduan,
saling berkelindan pendekatan tersebut, sebagaimana yang dianjurkan oleh
Sidharta bahwa antara penstudi hukum eksternal dengan penstudi hukum
internal harus berkombinasi dalam menemukan hukum yang bisa tergolong
progresif, pembangunan hukum, dan hukum integratif.
Sebagai ilustrasi, harus dipahami kalau
semula orang sudah beranggapan hukum sebagai seperangkat aturan itu
telah menempati kesempurnaan, dan memperoleh posisi yang mapan, lalu
datang para penstudi hukum eksternal (teori pengemban hukum teoritis)
menemukan gejala sosial yang menyebabkan hukum tersebut tidak menjadi
otonom lagi. Pada titik itu, harus kembali dirumuskan hukum yang
sedianya akan menyesuaikan dengan kondisi masyarakat bersangkutan. Jadi
hukum dari segi kepastiannya, sebagai norma yang berlaku imperatif,
mengatur dan memaksa tetap akan kembali seperti sedia kala, setelah
melalui proses elaborasi dari penstudi hukum eksternal.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar