Tanpa bermaksud menafikan
pendapat Mustajab Al-Musthafa, sekiranya wajar saja saya memiliki
pendapat yang lain ataukah minimal berbeda dengan beliau. Yang jelas
dari sebuah “dialektika” kita bisa menemukan antitesa untuk menemukan
formula yang tepat sasaran membenahi republik ini.
Inilah yang saya maksud, kita
masing-masing memiliki “kesamaan” dalam membenahi “sistem” yang sdr
Mustajab maksudkan dalam tulisannya yang berjudul “Kekuasaan dan Korupsi
(22/10/13).” Walaupun solusi yang saya tawarkan dari koreksi tulisan
beliau ada yang berbeda.
Meski saat ini boleh dikata membahas
seputar berwenangnya MK atau tidak lagi untuk mengadili sengketa hasil
pemilukada, sudah kurang update, oleh karena yang menjadi “lahan”
polemik para pakar ketatanegaraan saat ini adalah Perppu (Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang) Nomor 1 Tahun 2013 tentang MK yang
telah dikeluarkan oleh Presiden sebagai salah satu kewenangan
konstitusional yang diberikannya melalui Pasal 22 ayat 1 UUD NRI 1945.
Beberapa catatan saya, terkait dengan
Perppu tersebut boleh saja Presiden mengeluarkan Perppu, Cuma yang
menjadi “isu hukum” dari kewenangan yang diberikan oleh Presiden atas
Perppu adalah tidak ada defenisi yang jelas apa yang dimaksud hal ihwal
kegentingan “yang memaksa” dalam ketentuan perundang-undangan kita.
Apakah dengan ditetapkannya sebagai status tersangka dalam kasus korupsi
(baca: suap) terhadap ketua MK sudah termasuk dalam “wilayah”
kegentingan yang memaksa? Mari kita tarik penalaran hukumnya dalam kasus
korupsi yang lain, Apakah juga dengan ditetapkannya seorang Menteri
(taruhlah misalnya Andi Alfian Mallarangeng sebagai Menteri Pemuda
Olahraga) dengan serta merta Kementerian Olahraga dapat dikatakan dalam
kondisi “darurat” lembaga tersebut? Jawabannya tidak, wilayah
kegentingan memaksa kita bisa mengamati pada terbitnya Perppu No. 1
tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pasca peledakan
Bom Bali, meski boleh dikata pelakunya dapat dijerat dengan Pasal 338/
340 KUHP, tetapi letak wilayah “gentingnya” adalah kejahatan tersebut
menjadi kejahatan extra, sementara dianggap terjadi kekosongan undang-undang (recht vacuum)
untuk memberinya penindakan, belum lagi pada waktu itu terorisme
menjadi isu “sentrum” internasional. Berbeda halnya kalau Perppu tentang
Penyelamatan MK, tidak ada yang bisa ditafsirkan masuk dalam wilayah
:genting” toh semua tugas dan kewenangan MK dapat berjalan, dengan
pemilihan Ketua MK yang baru dan perekrutan hakim konstitusi berdasarkan
prosedur yang telah ditentukan oleh Konstitusi dan UU Nomor 14 Tahun
2003 jo UU 8 Tahun 2011 tentang MK. Terlepas saat ini, Perppu sudah
keluar sepekan yang lalu, untuk membahas bagaimana “nasib” Perppu
tersebut ke depannya saya akan menulisnya dalam tema yang lain nantinya.
MK BERWENANG
Benar adanya kalau sdr Mustajab
mengatakan bahwa kekuasaan itu cenderung korup, pendapat itu sudah
diluas berkali-kali dalam berbagi literature sebagaimana pertama kali
diungkapkan oleh Lord Acton “the power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.”
Tapi satu lagi rumus yang sederhana tentang korupsi juga dikemukakan
oleh Robert Klitgard bahwa korupsi terjadi karena monopoli kekuasaan (monopoly of power) ditambah diskresi pejabat (discretion of official) tanpa adanya pengawasan memadai (minus accountability)
akan mendorong terjadinya korupsi. Jadi, tiga lapangan kekuasaan Negara
yang dikemukakan oleh Montesqiue sudah meringkus kredo yang diungkapan
oleh Lord Acton, yakni tersimpul dalam terminologi Trias Corruptica (sebagaimana yang pernah saya ulas pula dalam harian ini/ Gorontalo Post).
Tetapi bukan berarti karena lemahnya pengawasan (minus accountability)
terhadap MK, sehingga pada akhirnya masuk juga dalam “kubangan” korupsi
ataukah mafia peradilan, baru kita dengan kebablasan ingin mencabut
salah satu kewenangan MK untuk mengadili sengketa Pilkada yang telah
diberikan melalui Pasal 236 huruf (c) UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemda. Ada beberapa alasan sehingga kemudian kewenangan untuk mengadili
sengketa hasil pilkada ini diberikan “legalitasnya” untuk MK.
Pertama, ketidakmampuan MA yang
dulunya diberi wewenang untuk mengadili sengketa hasil Pilkada, bahkan
juga sampai menyeret institusi MA dalam permainan mafia peradilan. Cukup
sudah menjadi catatan buram atas kegagalan MA mengadili sengketa
pilkada Sulsel. Oleh karena itu dialihkannya kewenangan tersebut kepada
MK, kemudian ada pendapat yang ingin mengembalikan kembali ke MA. Jika
demikian sama halnya kita menghilangkan kepastian hukum, dan terus
menerus isu yang mencuat dipermukaan bongkar pasang pasal-pasal saja
dalm undang-undang.
Dalam konteks ini, sangat keliru pendapat
sdr Mustajab, kalau dikatakan bahwa sengketa hasil pemilukada berbicara
pada wilayah “proses”, sama sekali bukan lagi proses penyelenggaraan
pemilukada, berbeda halnya kalau berbicara tahap penentuan DCT, DPT, dan
penentuan Calon Kepala daerah misalnya.
Kemudian, jika sengketa itu dikembalikan
kepada KPUD, hasil perhitungan suara tersebut Bagimana mungkin KPUD bisa
menjadi “peradilan” untuk dirinya sendiri. Bisa dibayangkan pula
peristiwa yang mengancam KPUD jika dirinya diberi wewenang untuk
mengevaluasi kembali hasil perhitungan suara itu, serangan atas
sekelompok “massa pendukung” team yang kalah, malah akan tambah runyam
masalahnya. Bisa diamati, saat ini MK saja yang mengadili sengketa hasil
pemilukada tersebut, KPUD masih sering diguncang serangan oleh massa
simpatisan hingga pembakaran kantor KPUD.
Andaikan sdr Mustajab, mengatakan bahwa
hasil perhitungan suara Pemilukada merupakan Keputusan, yakni keputusan
KPUD maka argumen demikian sah-sah saja dan hal itu sesuai dengan
lapangan kekuasaan pemerintahan (regeling, hukum materil: Pidana dan perdata, beschikking) yang harus semua melalui proses judicial. Dalam hal ini karena hasil perhitungan suara adalah keputusan maka merupakan wilayah beschikking,
maka dimungkinkan hasil perhitungan suara itu diuji melalui PTUN
(Pengadilan Tata Usaha Negara). Dalam argumen yang seperti ini, saya
malah menganjurkan dari konteks hukum acaranya, PTUN yang diberikan
kompetensi adalah pengadilan Tinggi TUN yang menguji hasil keputusan
tersebut dengan menerapkan prinsip final and binding.
Selain itu, pun memang MK hanya merupakan lembaga penguji perundang-undangan (constitutional court) bukan penguji keputusan pejabat eksekutif sebagaimana kewenangan itu telah dilekatkan untuk PTUN (vide:
UU No 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No 51 Tahun 2009
tentang PTUN). Tetapi lagi-lagi masih ada pendapat yang bisa membantah
bahwa MK tetap berwenang mengadili sengketa hasil Pemilukada (bukan
hanya dapat mengadili sengketa pemilu Pilpres dan Legislatif). Pendapat
ini sejalan dengan alasan berikut.
Kedua, MK merupakan pengawal konstitusi (guardian of constitution).
Oleh karena penyelenggaraan pemilu hingga hasil pemungutan suara
tersebut, mereupakan hasil dari “daulat rakyat”, maka konstitusi yang
mengakui kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945), fungsi MK
dalam posisi itu adalah pengawal kedaulatan rakyat. Meski Nampak abstrak
legitimasi MK, dari analisis filsufis tersebut namun yang pasti benar
adanya MK tidak ada yang dapat membantah kalau rohnya UUD terintegrasi
dalam MK.
Kalaupun dalam pemeriksaan hasil
perhitungan suara MK juga banyak mengadili proses yang menyebabkan
sehingga hasil perhitungan itu berbeda dengan suara hasil perhitungan
KPUD, seperti adanya money politic yang terbukti melalui putusan
pengadilan negeri (lapangan hukum materil/ biasa) MK sebagai “pengawal
demokrasi”, karena dianggap mencederai demokrasi, serta pada intinya
dapat mempengaruhi “jumlah” hasil perhitungan suara, sah-sah saja MK
melalui putusannya dapat memerintahkan pemilukada ulang di beberapa
titik (baca: daerah pemilihan).
PEMILUKADA TAK LANGSUNG ?
Terakhir, tanggapan yang tentu juga
berbeda antara saya dengan sdr Mustajab, kembali ke sistem pemilukada
tak langsung, sebagaimana anjuran sdr Mustajab. Kalau menganut sistem
pemilu yang demikian, sama halnya kita akan kembali ke model
pemerintahan ala orde baru, yang mana politik transaksional akan semakin
langgeng. Oleh karena celah untuk mengawasi dan mengukur kebijakan
kepala daerah tidak bisa lagi dibuka secara transparan.
Di akhir tulisan sdr Mustajab, justru
seolah-oleh membantah sendiri pendapatnya dari awal yang mengatakan
kalau kekuasaan itu cenderung korup. Padahal mengembalikan pemilukada
dengan cara tidak langsung, Kepala daerah terpilih tidak perlu lagi
merealisasikan “janji politiknya” melalui kebijakan-kebijakan untuk
daerahnya, karena kepala daerah tidak merasa “berutang budi” lagi dengan
rakyat sebagai pemilih kepala daerah.
Pemilukada tidak langsung kesimpulannya
terletak pada jarak antara rakyat dengan pemerintah justru akan semakin
menjauhi hak-hak rakyat itu. (*)
Tulisan ini Adalah Tanggapan Atas Tulisan Mustajab Al-Musthafa “Kekuasaan dan Korupsi di Harian Gorontalo Post 22 Oktober 2013
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar